Pegawai Negeri Sipil
Jakarta - Deputi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan, salah satu evaluasi terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala darah (pilkada) adalah aspek independensi petugas dan kesalahan penulisan dalam rekapitulasi suara, terutama di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), panitia pemungutan suara (PPS), dan panitia pemungutan kecamatan (PPK).
“Kenekatan petugas pemungutan dan penghitungan suara untuk berlaku memihak kepada partai politik atau calon tertentu di antaranya karena honor terlalu kecil yang diterima dari negara sehingga ketika ada iming-iming dari lain pihak yang lebih menggiurkan menjadi terlena,” katanya, kepada SP, di Jakarta, Minggu (25/1).
Masykurudin melanjutkan, dalam proses rekapitulasi suara, mayoritas petugas pemungutan dan penghitungan suara yang jarang mengalami perubahan sejak tahun 1999 seringkali mengalami hambatan saat proses rekapitulasi suara.
“Baik sengaja ataupun tidak, kemampuan standar administrasi yang kurang dimiliki oleh kelompok petugas menyebabkan hasil penghitungan menjadi tidak akurat,” katanya.

Oleh karena itu, terangnya, salah satu jalan keluar untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pemungutan suara terutama di TPS, PPS, dan PPK adalah menjadikan pegawai negeri sipil untuk terlibat dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara tersebut.

“Kelebihan pegawai negeri sipil menjadi petugas pemungutan dan penghitungan suara adalah pertama kemampuan standar administrasi terpenuhi. Setiap pegawai negeri sipil dapat dipastikan mempunyai kemampuan standar dalam menghitung, menjumlah dan menuliskan kembali angka-angka serta memberikan keterangan dari angka tersebut, baik secara romawi maupun narasi,” katanya.
Kedua adalah independensi petugas pemungutan dan penghitungan relatif bisa dikontrol. “Sebagai pegawai negeri sipil, tanggung jawab melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara juga menjadi amanah dari dirinya sebagai pegawai, tidak hanya penyelenggara pemilu. Tuntutan berlaku mandiri menjadi lebih dalam dan panjang, dan apabila terdapat pegawai yang masih melanggar, ketentuan sanksinya tidak hanya terkait dirinya sebagai penyelenggara Pemilu tetapi juga melanggar sebagai pegawai negara,” katanya.
Ketiga, lanjutnya, adalah penghematan. “Bila selama ini petugas TPS mengeluh perihal honor yang kecil dengan pekerjaan yang berat maka menjadikan PNS sebagai penggantinya bisa menjadi solusi. Sebagai pegawai yang hidupnya sudah dibiayai negara, menjadi petugas TPS pada akhirnya dapat dimasukkan menjadi bagian dari tugas negara yang diemban. Honor berapapun tidak mempengaruhi kualitas dan kemandirian penyelenggaraan,” katanya.
Keempat, tambahnya, adalah menjadi jalan keluar terhadap bimbingan teknis yang selama ini berjalan formal dan tidak maksimal. “Bimbingan teknis yang dilakukan KPU terhadap petugas TPS seringkali berjalan apa adanya dan tidak diikuti oleh seluruh petugas TPS. PNS dapat menjadi pintu keluar dari hambatan ini karena punya waktu banyak untuk mempelajari modul bimbingan teknis Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) dan mencari informasi tambahan dengan lebih cepat dan maksimal,” katanya.
Dia mengemukakan, ada banyak cara untuk meningkatkan kualitas dan menghemat biaya pemilu, saatnya pegawai negeri sipil turut serta mewujudkannya. “Tidak terlibat dalam politik, bukan berarti tidak dapat menjadi penyelenggara pemilu,” katanya.
Suara Pembaruan
Penulis: Willy Masaharu/WBP
Sumber:Suara Pembaruan